Penjelasan



UNDANG-UNDANG NO. ..... TAHUN 1961

TENTANG

POKOK-POKOK PERATURAN PERNIKAHAN UMAT ISLAM.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:
 

    a. bahwa dinjatakannja Piagam Djakarta tanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan U.U.D. 1945, oleh Dekrit Presiden 5 Djuli 1959, berakibat bahwa bagi para pemeluk agama Islam dapat ditjiptakan perundang-undangan jang sesuai dengan sjarat Islam;

    b. bahwa dianggap perlu adanja suatu undang-undang jang mengatur pernikahan bagi umat Islam menurut hukum Islam;

    c. bahwa Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jang telah ditetapkan berlakunja untuk seluruh Indonesia dengan Undang-Undang No. 32 tahun 1954 jang hanja mengatur tentang pengawasan dan pentjatatan Nikah, Talak dan Rudjuk, perlu dilengkapi dengan Undang-Undang jang mengatur pernikahan umat Islam setjara materiil;

    d. bahwa pengharapan jang sangat dari seluruh umat Islam jang merupakan golongan terbesar dalam masjarakat Indonesia untuk selekas-lekasnja mendapat peraturan pernikahan jang bersifat positip dan jang sesuai dengan hukum Islam, perlu segera dipenuhinja dengan mengeluarkan Undang-Undang Tentang Pokok2 Peraturan Pernikahan Umat Islam;

Mengingat:
 

    1. Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Djuli 1959;

    2. Pasal 5 dan 29 Undang-Undang Dasar;

    3. Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPR/1960 pasal 1, 9 dan Lampiran 4. III, No. 38 (§ 402).

 

Dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat Gotong-Rojong.

 

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
 

UNDANG-UNDANG No ..... TAHUN 1961

TENTANG

POKOK-POKOK PERATURAN PERNIKAHAN

UMAT ISLAM

 

BAB KESATU

KETENTUAN-KETENTUAN UMUM

BAGIAN KE : I

Pengertian pernikahan dan beberapa istilah

Pasal 1.
 

    1. Pernikahan ialah ikatan lahir batin jang diperintahkan oleh agama Islam antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, untuk memenuhi hadjat hidup bersama, berumah-tangga serta untuk memperoleh keturunan jang sah menurut hukum Islam.

 

    2. Bila dalam Undang-Undang ini ada istilah Pegawai Pentjatat Nikah, berarti Pegawai Pentjatat Nikah, Talak dan Rudjuk atau Pembantu Pegawai Pentjatat Nikah, Talak dan Rudjuk atau pegawai sedjenis jang ditundjuk oleh Menteri Agama atau oleh penguasa jang diberi wewenang olehnja.

 

    3. Wali hakim ialah wali tjalon isteri jang ditetapkan oleh Menteri Agama atau oleh penguasa jang diberi wewenang olehnja dan bukan wali nasab.

 

BAGIAN KE : II.
 

Rukun pernikahan dan sjarat-sjaratnja.
 

Pasal 2.
 

    Untuk melaksanakan pernikahan harus terdapat:

     

    a. Tjalon suami,
     

    b. Tjalon isteri,
     

    c. Wali,
     

    d. Dua orang saksi,
     

    e. Idjab kabul,

 

Pasal 3.
 

    1. Untuk dapat melaksanakan pernikahan, seorang perempuan harus telah berumur lima belas tahun, sedangkan seorang laki-laki harus telah berumur delapan belas tahun.

 

    2. Djika umur mereka tidak dapat diketahui setjara pasti, maka Pegawai Pentjatat Nikah dapat menetapkan, apakah mereka sudah mentjapai umur seperti jang ditentukan dalam ajat 1 diatas.

 

    3. Penjimpangan dari ajat 1 diatas hanja diperbolehkan dalam keadaan luar biasa dengan izin tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Daerah Tingkat Dua atau pegawai jang ditundjuk olehnja.

 

Pasal 4.
 

    1. Pernikahan dilangsungkan atas persetudjuan dari kedua belah fihak tjalon suami dan tjalon isteri.

 

    2. Persetudjuan tersebut diatas harus dinjatakan dengan djelas, baik setjara lisan maupun tulisan.

 

    3. Bagi tjalon suami atau isteri jang tidak dapat bertutur, persetudjuan itu dapat dinjatakan dengan tulisan atau sjarat jang dapat dimengerti.

 

Pasal 5.
 

    1. Seorang wali harus beragama Islam, sudah baligh dan tidak terganggu ingatannja.

 

    2. Jang dapat mendjadi wali ialah:

      a. ajah, ajahnja ajah dan seterusnja keatas;

 

      b. kerabat laki-laki jang terdekat dalam garis laki-laki dari keturunan ajah, sebagai: saudara seibu seajah, saudara seajah, kemudian keturunan laki-laki dari saudara seajah;

 

      c. kerabat laki-laki jang terdekat dalam garis laki-laki dari keturunan kakek, sebagai: saudara ajah seibu seajah, saudara ajah seajah, selandjutnja keturunan laki-laki saudara ajah seajah;

 

      d. kerabat laki-laki jang terdekat dalam garis laki-laki dari keturunan bujut, sebagai: saudara kakak seibu seajah, saudara kakak seajah, kemudian keturunan laki-laki saudara kakek seibu seajah, selandjutnja keturunan laki-laki saudara kakek seajah;

 

      e. selandjutnja kerabat laki-laki jang terdekat dalam garis laki-laki dari keturunan tjanggah dan seterusnja menurut garis lurus keatas.

 

    3. Wali-wali tersebut pada ajat 2 pasal ini mendjadi wali menurut susunan huruf dan urutan didalam huruf itu.

 

Pasal 6
 

    1. Apabila wali jang berwenang tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut pada pasal 5 ajat 1 diatas, atau wali itu bisu dan/atau tuli jang tidak bisa diadjak bitjara dengan isjarat atau tulisan, maka hak mendjadi wali itu beralih kepada wali lain menurut urutan berikutnja.

 

    2. Apabila wali-wali tersebut pada pasal 5 ajat 2 semuanja tidak ada, atau wali jang berwenang ada akan tetapi hilang tak diketahui tempat tinggalnja, dalam tahanan/pendjara/sesuatu tempat jang tidak dapat ditemui, djauh terutama jang susah dihubungi, adhal, atau wali itulah jang akan mendjadi tjalon suaminja padahal wali jang sederadjat tidak ada lagi, maka atas pemintaan tjalon isteri, wali hakim bertindak sebagai wali.

 

    3. Apabila wali jang hilang seperti tersebut pada ajat 2 diatas menurut ketetapan wali hakim dinjatakan sudah meninggal, maka tugas wali beralih kepada wali lain menurut urutan berikutnja.

 

Pasal 7.
 

    1. Apabila wali jang berwenang menurut keterangan tjalon isteri adhal untuk bertindak sebagai wali, maka tjalon isteri itu dapat minta kepada wali hakim jang mewilajahi tempat tinggalnja untuk bertindak sebagai walinja dalam pernikahan jang akan dilangsungkan.

 

    2. Setelah permintaan tjalon isteri tersebut dalam ajat 1 diatas diterima oleh wali hakim jang berwenang, dalam waktu jang sesingkat-singkatnja wali hakim tersebut memberi ketetapan tentang adhal tidaknja wali jang bersangkutan, setelah mendengar keterangannja, keterangan tjalon suami dan tjalon isteri atau wakilnja setjara langsung.

 

    3 Bila wali tersebut setelah dipanggil tidak datang dan wali hakim mendapat kesan bahwa jang demikian itu memang disengadja sedangkan unsur-unsur lagi tidak ada, maka wali hakim menetapkan bahwa wali tersebut adalah adhal.

 

    4 Terhadap ketetapan wali hakim tersebut pada ajat 2 dan 3 diatas, jang berkepentingan dapat memadjukan keberatannja kepada Pengadilan Agama setempat, dalam djangka waktu satu minggu setelah ketetapan wali hakim itu diterimanja.

 

    5 Keputusan Pengadilan Agama tersebut tidak dapat dimintakan banding.

 

Pasal 8.
 

    Seorang saksi harus memenuhi sjarat-sjarat sebagai berikut:

      a. beragama Islam,

      b. telah baligh,

      c. tidak terganggu ingatannja dan tidak tuli,

      d. laki-laki.

 

Pasal 9.
 

    1. Pernikahan harus dilangsungkan dengan idjab wali atau wakilnja dan dengan kabul tjalon suami atau wakilnja, dimuka Pegawai Pentjatat Nikah dan dua orang saksi.

 

    2. Idjab dan kabul harus tjelas, beruntun dan tidak berselang waktu.

 

Pasal 10.
 

    1. Suami wadjib membajar mahar, ialah pemberian dari fihak suami untuk isteri berupa apa sadja, sesuai dengan hukum Islam.

 

    2. Mahar dapat dibajar dengan tunai atau dihutang.

 

BAGIAN KE : III.
 

Pernikahan jang dilarang.
 

Pasal 11.
 

    Dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam keadaan berikut:

 

    1. Ada pertalian nashab; jalah antara seorang laki-laki dengan:

      a. seorang perempuan jang menurunkannja atau keturunannja;

 

      b. seorang perempuan keturunan ajah atau ibu;

 

      c. seorang perempuan saudara orang jang menurunkannja;

 

    2. Ada pertalian semenda; jalah antara seorang laki-laki dengan:

 

      a. seorang perempuan jang menurunkan isteri atau bekas isteterinja;

      b. seorang perempuan bekas isteri orang jang menurunkannja;

      c. seorang perempuan keturunan isteri atau bekas isterinja, ketjuali bila bekas isterinja itu putus pernikahannja sebelum ditjampuri;

      d. seorang perempuan bekas isteri keturunannja.

 

    3. Ada pertalian susuan ialah antara seorang laki-laki dengan:

      a. ibu susuan, nenek susuan keatas;

      b. anak susuan tjutju susuan kebawah;

      c. saudara susuan, kemenakan susuan kebawah,

      d. bibi susuan, nenek bibi susuan keatas.

 

Pasal 12.
 

    Dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan:

 

      a. jang masih dalam idah;

      b. jang masih terikat dengan tali pernikahan jang sah dengan laki-laki lain.

 

Pasal 13.
 

    1. Dilarang melangsungkan pernikahan antara laki-laki dengan:

      a. bekas isterinja jang telah didjatuhi tiga talak;

      b. bekas isterinja jang telah dili‘an.

 

BAGIAN KE : IV.
 

Pengawasan, pentjatatan dan penjelesaian

perkara nikah, talak dan rudjuk.
 

Pasal 14.
 

    1. Tiap nikah, talak/chuluk dan rudjuk harus diawasi dan ditjatat oleh Pegawai Pentjatat Nikah.

 

    2. Pengawasan dan pentjatatan seperti tersebut pada ajat 1 diatur dengan peraturan perundangan tersendiri.

 

    3. Penjelesaian semua perkara jang timbul dari Undang-Undang ini diserahkan kepada Pengadilan Agama, ketjuali kalau Undang-Undang ini atau peraturan perundangan lainnja menundjuk instansi lain.

 

    4. Panitra Pengadilan Agama dalam waktu satu minggu sesudah adanja keputusan pasti, mengirimkan kutipan surat keputusan tersebut kepada Pegawai Pentjatat Nikah jang bersangkutan dengan perkara jang diputuskan itu.

 

BAGIAN KE : V
 

Ta‘lik talak dan perdjandjian pernikahan lainnja.
 

Pasal 15.
 

    1 Suami isteri dapat mengadakan :

      a. Ta‘lik talak;

      b. perdjandjian pernikahan lainnja.

    2. Ta‘lik talak sebagaimana tersebut pada ajat 1 huruf a dan perdjandjian pernikahan tersebut pada pasal-pasal 16, 20 dan 36, atas, diutjapkan/ditanda-tangani setelah akad nikah dilakukan.

 

    3. Ta‘lik talak dan perdjandjian pernikahan lainnja tersebut pada ajat 1 diatas tidak sah, djika bertentangan dengan hukum Islam.

 

    4. Ta‘lik talak diatur oleh Menteri Agama.

 

BAGIAN KE : VI.
 

Permaduan.
 

Pasal 16.
 

    1. Seorang laki-laki diperbolehkan menikah lebih dari seorang isteri dan sebanjak-banjaknja empat orang isteri, djika:

      a. ia karena keadaan memerlukan pernikahan demikian itu,

      b. ia dapat berlaku adil dalam memperlakukan isteri-isterinja,

      c. ia dapat mendjamin keperluan hidup isteri-isterinja.

    2. Untuk dapat melangsungkan pernikahan sebagaimana tersebut pada ajat 1 diatas, seorang laki-laki harus mendapat persetudjuan lebih dulu dari isteri jang pertama, kedua dan ketiga serta membuat perdjandjian tertulis jang diperkuat oleh dua orang saksi bahwa ia akan memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut pada ajat 1 huruf b dan c diatas.

 

    3. Bila isteri/isteri-isterinja tidak mau memberi persetudjuan seperti tersebut pada ajat 2 diatas, fihak jang bersangkutan dapat minta pengadilan kepada Pengadilan Agama.

 

    4. Pengadilan Agama setelah memeriksa fihak-fihak jang bersangkutan dan mempertimbangkan segala sesuatunja memberi ketetapan tentang boleh tidaknja pernikahan tersebut dilangsungkan berdasarkan ketentuan-ketentuan jang tersebut pada ajat 1 huruf a, b dan c diatas.

 

    5. Ketetapan Pengadilan Agama diambil dengan tidak beratjara serta tidak dapat dimintakan banding.

 

    6. Ketentuan-ketentuan tersebut pada ajat 2 diatas tidak berlaku bagi seorang suami terhadap isterinja jang tidak mungkin dimintai persetudjuan dan tidak dapat mendjadi fihak dalam perdjandjian karena gila, pergi atau hilang tidak ada kabarnja selama sekurang-kurangnja dua tahun, atau sebab-sebab lainnja.

 

Pasal 17.
 

    1. Seorang laki-laki dilarang melakukan permaduan dengan seorang perempuan jang mempunjai pertalian nashab atau susuan dengan isterinja sebagai:

 

      a. saudara perempuan seajah seibu;

      b. saudara perempuan seajah atau seibu;

      c. saudara perempuan ibu atau ajah, atau anak perempuan saudaranja

    2. Larangan tersebut pada ajat 1 diatas berlaku, meskipun isteri/isteri-isterinja telah ditalak radja‘i, tetapi masih dalam iddah.

 

Pasal 18.
 

    Seorang laki-laki dilarang melakukan pernikahan dengan perempuan lainnja apabila ia sedang mempunjai empat orang isteri jang keempat-empatnja atau sebagian dari mereka masih dalam tali pernikahan atau masih dalam iddah talak radja‘i.

 

Pasal 19.
 

    1. Isteri/isteri-isteri berhak mengadukan kepada Pengadilan Agama djika suami tidak memenuhi perdjandjian tertulis sebagaimana termaksud dalam pasal 16 ajat 2.

 

    2. Pengadilan Agama dapat menetapkan suatu keputusan jang menghukum suami agar melaksanakan apa jang tersebut pada ajat 1 diatas.

 

    3. Djika suami tidak mau melaksanakan keputusan Pengadilan Agama tersebut diatas, maka isteri/isteri-isteri berhak menuntut pertjeraian, nafakah, kiswah dan ganti kerugian.

 

Pasal 20.
 

    1. Tidak mengurangi maksud dari ketentuan tersebut pada pasal 16 ajat 4, permaduan dapat ditjegah, djika dibuat perdjandjian tertulis, jang didaftarkan kepada Pegawai Pentjatat Nikah, bahwa suami tidak akan melakukan pernikahan dengan isteri jang kedua, ketiga dan keempat.

 

    2. Perdjandjian tersebut pada ajat 1 diatas batal:

 

      a. atas persetudjuan bersama;

      b. djika isteri hilang tidak ada chabarnja selama sekurang-kurangnja dua tahun;

      c. djika isteri gila selama sekurang-kurangnja setahun.

 

    3. Kebatalan perdjandjian tersebut pada ajat 1 harus didaftarkan oleh jang berkepentingan pada Pegawai Pentjatat Nikah jang mendaftarkan perdjandjian tersebut.

 

    4. Bagi perdjandjian sebagaimana tersebut pada ajat 1 jang didaftarkan pada Pegawai Pentjatat Nikah diluar Indonesia, kebatalannja jang terdjadi di Indonesia harus didaftarkan oleh jang berkepentingan pada Direktorat Urusan Agama Djakarta.

 

BAGIAN KE : VII.
 

Pembatalan nikah, talak dan rudjuk.
 

Pasal 21.
 

    1. Kebatalan nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk karena tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut pada pasal-pasal 3, 4, 5, 8 dan 58 atau melanggar larangan dalam pasal-pasal 11, 12, 13, 17, 18 dan 59 atau karena hal-hal lain jang dapat menimbulkan kebatalan itu, dapat dimintakan oleh suami/bekas suami, isteri/bekas isteri, wali atau oleh Pegawai Pentjatat Nikah kepada Pengadilan Agama jang mewilajahi tempat pernikahan, talak/chulu‘ dan rudjuk itu didaftarkan.

 

    2. Bagi nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk jang dilangsungkan diluar Indonesia kebatalannja dimintakan kepada Pengadilan Agama Djakarta Raja.

 

    3. Pengadilan Agama jang memutus tentang kebatalan nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk sebagaimana tersebut pada ajat 1 dan 2 diatas, dapat djuga menentukan penjelesaian hal-hal sebagai akibat dari adanja pembatalan tersebut.

 

    4. Panitra Pengadilan Agama dalam waktu satu minggu sesudah adanja keputusan pasti, mengirimkan kutipan surat keputusan mengenai kebatalan nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk itu kepada Pegawai Pentjatat Nikah jang mendaftarkan nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk tersebut untuk ditjatatnja

 

    5. Dalam hal nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk itu dilangsungkan diluar Indonesia, maka kutipan keputusan Pengadilan Agama/Pengadilan Agama Tinggi dikirimkan kepada Direktorat Urusan Agama.

 

    6. Dalam hal keputusan itu dimintakan banding, maka pengiriman kutipan keputusan itu disertai pula pemberitahuan tentang permintaan banding, dan achirnja dikirim djuga kutipan keputusan Pengadilan Agama Tinggi untuk ditjatat.

 

    7. Djika keputusan Pengadilan Agama itu dimintakan banding, maka selama keputusan Pengadilan Agama Tinggi belum diutjapkan, hubungan antara laki-laki dan perempuan itu masih tetap sebagaimana pada waktu sebelum keputusan Pengadilan Agama itu diutjapkan.

 

BAGIAN KE: VIII.
 

Nikah, talak dan rudjuk diluar Indonesia.
 

Pasal 22.
 

    Tentang tjara dan pentjatatan nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk jang dilangsungkan diluar Indonesia diatur dengan peraturan perundangan tersendiri.

 

BAGIAN KE : IX
 

Bukti Nikah, Talak dan Rudjuk.
 

Pasal 23.
 

    1. Nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk hanja dapat dibuktikan dengan:

 

      a. surat nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk jang dikeluarkan oleh Pegawai Pentjatat Nikah;

      b. surat keputusan Pengadilan Agama jang menjatakan adanja nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk jang sah bagi nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk jang tidak dapat dibuktikan dengan surat akta sebagaimana jang tersebut pada huruf a.

 

    2. Panitera Pengadilan Agama dalam waktu satu minggu sesudah adanja keputusan pasti, mengirimkan kutipan surat keputusan tersebut pada ajat 1 huruf b diatas, kepada Pegawai Pentjatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Ketjamatan jang mewilajahi tempat kediaman suami-isteri jang berkepentingan untuk ditjatat.

 

BAB KEDUA
 

HAK DAN KEWADIJBAN SUAMI - ISTERI

 

BAGIAN KE: I.
 

Hak dan kewadjiban suami isteri bersama
 

Pasal 24.
 

    1. Suami isteri bersama-sama mempunjai tanggung-djawab terhadap keselamatan rumah tangganja dengan penuh kesabaran.

 

    2. Suami isteri mempunjai hak dan kewadjiban jang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan dalam masjarakat.

 

    3. Suami isteri harus saling tjinta mentjintai, setia, bergaul dengan baik serta memberi bantuan lahir batin satu sama lain.

 

    4. Suami isteri memikul kewadjiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan djasmani, ruchani maupun ketjerdasannja.

 

    5. Suami isteri wadjib memelihara kehormatan rumah-tangganja.

 

BAGIAN KE: II.
 

Kewadjiban suami.
 

Pasal 25.
 

    1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganja, tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga terutama jang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.

 

    2. Suami memberi pendidikan Agama kepada isterinja dan memberi kesempatan beladjar pengetahuan jang berguna dan bermanfaat bagi Agama, Nusa dan Bangsa.

 

    3. Sesuai dengan penghasilannja suami menanggung:

      a. nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri,

      b. biaja rumah tangga, biaja perawatan dan biaja pengobatan bagi isteri dan anak,

      c. biaja pendidikan bagi anak-anak.

 

    4. Kewadjiban suami terhadap isterinja seperti tersebut pada ajat 3 huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinja.

 

    5. Isteri dapat membebaskan suaminja dari kewadjiban terhadap dirinja sebagaimana tersebut pada ajat 3 huruf a dan b.

 

BAGIAN KE: III.
 

Kewadjiban suami jang mempunjai isteri lebih dari seorang
 

Pasal 26.
 

    1. Djika suami mempunjai isteri lebih dari seorang, kewadjiban tersebut pada pasal 25 ajat 3 harus diatur sedemikian rupa hingga seimbang dengan besar ketjilnja djumlah keluarga jang mendjadi tanggungan masing-masing isteri atau menurut perdjandjian waktu nikah permaduan akan dilangsungkan.

 

    2. Demikian pula mengenai giliran, suami wadjib melakukan setjara adil atau menurut perdjandjian pada waktu nikah permaduan akan dilangsungkan setelah memenuhi hak giliran bagi isteri jang baru dinikahinja.

 

Pasal 27.
 

    1. Perselisihan tentang djumlah atau besarnja nafkah atau kewadjiban lain-lainnja untuk isteri/isteri-isteri seperti tersebut pada pasal 25 dan pasal 26, dapat dimintakan nasihat kepada Pegawai Pentjatat Nikah.

 

    2. Djika nasihat tersebut pada ajat 1 tidak dapat mendamaikan perselisihan itu, maka isteri jang bersangkutan dapat minta keputusan pada pengadilan Agama.

 

Pasal 28.
 

    1. Djika seorang suami jang mempunjai isteri lebih dari seorang mau bepergian ketempat lain atau pindah karena pekerdjaan, pentjaharian atau sebab lainnja, sedang ia tidak sanggup membawa serta semua isteri-isterinja, maka ia boleh membawa seorang dari isteri-isterinja dengan persetudjuan dari semua isteri-isterinja.

 

    2. Djika suami membawa seorang isteri dari isteri-isterinja dalam bepergian ketempat lain atau pindah, maka giliran diadakan menurut waktu jang telah dimufakati oleh fihak-fihak jang bersangkutan.

 

    3. Djika persetudjuan seperti tersebut pada ajat 1 tidak tertjapai atau suami tidak menetapi pembagian giliran menurut permufakatan tersebut pada ajat 2, maka fihak jang berkepentingan dapat minta nasihat kepada Pegawai Pentjatat Nikah.

 

    4. Djika nasihat tersebut pada ajat 3 tidak diindahkan oleh isteri-isteri atau suami, maka jang berkepentingan dapat minta keputusan kepada Pengadilan Agama.

 

BAGIAN KE: IV.
 

Kewadjiban isteri.
 

Pasal 29.
 

    Kewadjiban isteri jang utama adalah berbakti kepada suami didalam batas-batas jang dibenarkan oleh hukum Islam.

 

Pasal 30.
 

    Isteri menjelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknja.

 

Pasal 31.
 

    1. Isteri dapat dianggap nusjuz djika ia tidak mau melaksanakan kewadjiban-kewadjiban sebagai dimaksud dalam pasal 29, ketjuali dengan alasan jang sah.

 

    2. Selama isteri masih dalam nusjuznja, kewadjiban suami terhadap isterinja tersebut pada pasal 25 ajat 3 huruf a dan b tidak berlaku.

 

    3. Kewadjiban suami tersebut pada ajat 2 diatas berlaku kembali sesudah isteri tidak nusjuz.

 

    4. Ketentuan tentang ada atau tidak adanja nusjuz dari isteri, harus didasarkan atas bukti jang sah.

 

BAB KETIGA
 

HARTA KEKAJAAN PERNIKAHAN
 

Pasal 32.
 

    1. Pada dasarnja tidak ada pertjampuran antara harta kekajaan isteri dan harta kekajaan suami karena pernikahan.

    2. Harta kekajaan isteri tetap mendjadi hak milik isteri dan dikuasai penuh olehnja, begitu pula harta kekajaan suami tetap mendjadi hak milik suami dan dikuasai penuh olehnja.

 

Pasal 33.
 

    1. Untuk membelandjai rumah tangga, suami tidak berhak mempergunakan harta kekajaan isteri.

    2. Harta kekajaan isteri jang dipergunakan untuk membelandjai rumah tangga, mendjadi hutang suami, ketjuali djika telah diichlaskan oleh isterinja.

 

Pasal 34.
 

    1. Harta kekajaan bersama, jaitu harta kekajaan hasil usaha suami dan/atau isteri selama dalam pernikahan, mendjadi milik bersama antara suami dan isteri.

    2. Djika pernikahan putus, maka harta kekajaan bersama itu dibagi menurut keseimbangan jang adil.

 

Pasal 35.
 

    1. Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 32, 33 dan 34 tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum adat jang berlaku bagi suami isteri.

    2. Djika hukum adat suami dan isteri tersebut pada ajat 1 berbeda, maka hukum adat ditempat hakimlah jang dipakai dasar penjelesaian.

 

Pasal 36.
 

    Dalam mengatur pembagian harta kekajaan pernikahan, suami isteri dapat membuat perdjandjian menjimpang dari ketentuan tersebut pada pasal-pasal 32, 33, 34 dan 35.

 

BAB KEEMPAT
 

PUTUSNJA PERNIKAHAN
 

BAGIAN KE : I.
 

Sebab-sebab putusnja pernikahan.
 

Pasal 37.
 

    Pernikahan putus karena:

      a. kematian;

      b. talak;

      c. pelanggaran ta‘lik talak;

      d. chulu‘;

      e. fasach;

      f. akibat adanja sjiqaq;

      g. li‘an.

 

BAGIAN KE : II.
 

Talak
 

Pasal 38.
 

    1. Talak dapat didjatuhkan oleh suami atas isterinja karena sebab-sebab jang berat seperti tersebut dibawah ini:

      a. isteri berbuat zina;

      b. isteri nusjuz;

      c. isteri suka mabok, mendjadi pemadat, mendjadi pendjudi atau melakukan perbuatan jang serupa itu jang mengganggu ketenteraman rumah-tangga;

      d. isteri sakit ingatan;

      e. isteri dipidana kedjahatan dengan pidana pendjara sedikit-dikitnja dua tahun;

      f. lain-lain sebab jang tidak memungkinkan mendirikan rumah tangga dengan damai dan teratur.

    2. Talak harus didjatuhkan dengan penuh kesadaran dan tidak ada paksaan.

 

Pasal 39.
 

    1. Talak didjatuhkan oleh suami atau wakilnja dengan lisan atau tulisan.

 

    2. Talak bagi suami jang tidak dapat bertutur, dapat mendjatuhkan talak dengan tulisan atau isjarat jang dapat dimengerti.

 

    3. Talak jang tidak sharih, dianggap sah djika disertai dengan niat talak.

 

Pasal 40.
 

    1. Djumlah talak jang didjatuhkan atas seorang isteri sebanjak-banjaknja tiga talak.

    2. Suami pada satu waktu hanja diperbolehkan mendjatuhkan satu talak.

    3. Mendjatuhkan talak harus dilakukan dimuka Pegawai Pentjatat Nikah dan dua orang saksi.

    4. Pegawai Pentjatat Nikah sebelum meluluskan atau menolak dilangsungkannja talak oleh jang bersangkutan, harus berusaha agar talak tidak djadi dilangsungkan.

 

    5. Djika sebab-sebab talak jang dikemukakan oleh suami ditolak oleh Pegawai Pentjatat Nikah atau sebab-sebab jang diterima oleh Pegawai Pentjatat Nikah itu dibantah oleh isteri, maka penjelesaian perkara itu diserahkan kepada Pengadilan Agama.

 

Pasal 41.
 

    Seorang laki-laki dilarang melakukan persetubuhan dengan bekas isterinja jang telah didjatuhi talak, ketjuali apabila laki-laki tersebut telah melakukan rudjuk seperti termaksud dalam pasal 57.

 

Pasal 42.
 

    1. Suami jang mendjatuhkan talak atas isterinja wadjib:

 

      a. memberi muth‘ah jang lajak kepada bekas isterinja, baik berupa benda atau uang, ketjuali bagi bekas iteri jang belum pernah ditjampuri dan maharnja sudah ditentukan pada waktu akad nikah,

      b. memberi nafkah dan kiswah selama bekas isteri dalam iddah sebagaimana termaksud dalam pasal 54 dan 55, ketjuali kalau bekas isteri itu telah didjatuhi talak bain atau nusjuz dan dalam keadaan tidak hamil,

      c. memberi tempat kediaman selama bekas isteri masih dalam iddah sebagaimana termaksud dalam pasal 54 dan 55, ketjuali djika bekas isteri itu dalam keadaan nusjuz,

      d. melunasi mahar apabila belum dibajar sama sekali atau baru dibajar sebagian, ketjuali djika dibebaskan oleh bekas isterinja,

      e. memberi belandja untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknja menurut batas kesanggupannja dan kadar jang patut dengan kedudukan suami, sampai anak-anak itu berumur delapan belas tahun dan dapat mengurus diri.

 

    2. Pengadilan Agama dapat mewadjibkan suami menurut kesanggupannja untuk memberi bantuan kepada bekas isterinja jang sudah habis iddah, djika dan selama dianggap perlu.

 

BAGIAN KE: III.
 

Pelanggaran ta‘lik talak
 

Pasal 43.
 

    Djika ada pelanggaran ta‘lik talak, maka isteri berhak minta pengadilan kepada Pengadilan Agama ditempat tinggalnja.

 

Pasal 44.
 

    Djika ternjata sjarat-sjarat ta‘lik talak itu sudah ada, Pengadilan Agama menjatakan djatuhnja talak satu.

 

BAGIAN KE: IV.
 

Chulu‘.
 

Pasal 45.
 

    1. Djika seorang isteri merasa tidak sanggup lagi meneruskan pernikahannja sedangkan suami tidak mau memutuskan pernikahannja ketjuali djika isteri memberikan iwadl, maka setelah ada persetudjuan antara kedua belah fihak tentang besarnja iwadl, pemutusan pernikahan dapat dilaksanakan dengan djalan chulu‘.

    2. Pemutusan pernikahan dengan djalan chulu‘ harus dilakukan dimuka Pegawai Pentjatat Nikah dan dua orang saksi.

 

Pasal 46.
 

Djika antara sumi isteri tidak ada persesuaian mengenai besarnja iwadl, maka perkara pemutusan pernikahan dengan djalan chulu‘ ini diserahkan kepada Pengadilan Agama.

 

Pasal 47.
 

Pemutusan pernikahan dengan djalan chulu‘, mengurangi djumlah talak sebagaimana dimaksud pasal 40 ajat 1.

 

Pasal 48.
 

    Isteri jang diputuskan pernikahannja dengan djalan chulu‘ tidak dapat dirudjuk.

 

BAGIAN KE: V.
 

Fasach.
 

Pasal 49.
 

    1. Seorang isteri berhak minta kepada Pengadilan Agama supaja diputuskan pernikahannja dengan djalan fasach, disebabkan hal-hal tersebut dibawah ini:

 

      a. karena suami zina;

      b. karena suami melakukan perbuatan-perbuatan jang mengganggu ketenteraman dan kerukunan rumah tangga, seperti suka mabok, mendjadi pemadat, pendjudi atau pentjuri;

      c. karena suami menderita penjakit djiwa jang tidak dapat diharapkan baiknja;

      d. karena suami menderita penjakit jang dapat membahajakan kesehatan isteri atau keturunannja;

      e. karena suami tidak dapat melakukan hasrat kelamin;

      f. karena suami dihukum pidana pendjara sedikit-dikitnja dua tahun;

      g. karena suami tidak ada kemampuan untuk memberi nafkah, kiswah, tempat tinggal dan mahar jang diwadjibkan;

      h. karena suami pergi atau hilang tidak ada chabarnja selama sekurang-kurangnja dua tahun.

 

    2. Hak isteri untuk minta fasach gugur, djika sebab-sebab tersebut pada ajat 1 huruf b, c, d, dan f sudah diketahuinja sebelum akad nikah dilangsungkan.

    3. Hak isteri untuk minta fasach berdasarkan sebab tersebut pada ajat 1 huruf g gugur, apabila isteri sedang dalam keadaan nusjuz.

 

Pasal 50.
 

    1. Isteri jang pernikahannja diputuskan dengan djalan fasach, tidak dapat dirudjuk, ketjuali djika fasach itu disebabkan oleh hal-hal jang tersebut pada pasal 49 ajat 1 huruf a, b, f dan h.

 

    2. Pernikahan jang diputus dengan djalan fasach tidak berkurang djumlah talaknja, sebagaimana termaksud dalam pasal 40 ajat 1, ketjuali djika fasach itu disebabkan oleh hal-hal jang tersebut pada pasal 49 ajat 1 huruf a, b, f dan h.

 

BAGIAN KE: VI
 

Sjiqaq.
 

Pasal 51.
 

    Djika suami isteri berselisih hebat sekali sehingga sulit didamaikan dan tidak mungkin lagi mendirikan rumah tangga setjara tenteram dan damai, maka jang berkepentingan dapat minta kepada Pengadilan Agama untuk diputuskan pernikahannja dengan djalan sjiqaq.

 

Pasal 52.
 

    1. Pengadilan Agama setelah membenarkan adanja sjiqaq mengangkat dua orang hakam, seorang dari fihak isteri dan seorang dari fihak suami.

 

    2. Tugas kedua hakam itu ialah menjelesaikan perselisihan kedua belah fihak dibawah pengawasan Pengadilan Agama.

 

    3. Djika tidak terdapat kata sepakat antara kedua hakam itu, maka Pengadilan Agama mengangkat dua orang hakam lain jang waspada.

    4. Djika tidak terdapat kata sepakat lagi antara kedua hakam tersebut pada ajat 3 diatas, maka Pengadilan Agama mengangkat dua orang hakam lain lagi jang waspada. Demikian seterusnja sehingga terdapat kata sepakat antara kedua hakam itu.

    5. Djika telah terdapat kata sepakat antara kedua hakam tersebut dan usaha menjelesaikan perselisihan dengan damai tidak berhasil, maka hakamnja suami dapat mendjatuhkan satu talak atau kedua hakam mentjeraikan suami isteri dengan djalan chulu‘ jang kemudian dibenarkan dan ditetapkan oleh Pengadilan Agama.

    6. Pemutusan pernikahan akibat sjiqaq mengurangi djumlah talak sebagaimana termaksud dalam pasal 40 ajat 1.

    7. Isteri jang diputuskan pernikahannja akibat sjiqaq sebagaimana termaksud dalam ajat 5 diatas, tidak dapat dirudjuk.

 

BAGIAN KE: VII.
 

Li‘an.
 

Pasal 53.
 

    1. Djika seorang suami menuduh isterinja zina atau tidak mengakui anak jang masih dalam kandungan isterinja atau jang sudah lahir dan ia tidak dapat meneguhkan tuduhannja itu dengan empat orang saksi, sedangkan isteri menolak tuduhannja itu, akan tetapi suami meneguhkan tuduhannja dengan sumpah li‘an jang dilakukan dibawah pengawasan Pengadilan Agama, maka pernikahan mereka putus untuk selama-lamanja dan anak jang tidak diakui tersebut adalah bukan anak suami jang menuduh.

 

    2. Sumpah li‘an jaitu sumpah suami empat kali jang menjatakan bahwa tuduhannja adalah benar dan diachiri dengan sumpah jang kelima jang menjatakan bahwa apabila tuduhannja tidak benar ia sanggup menerima la‘nat Allah.

 

    3. Penolakan isteri terhadap tuduhan suami dapat dikuatkan dengan sumpah li‘an jaitu sumpah empat kali jang menjatakan bahwa jang menjatakan bahwa apabila tuduhan suaminja itu benar ia sanggup menerima murka Allah.

 

BAB KELIMA
 

IDDAH
 

Pasal 54.
 

    Bagi seorang isteri jang telah putus pernikahannja berlaku waktu iddah, ketjuali bagi jang belum pernah ditjampuri dan pernikahannja putus bukan karena kematian suami.

 

Pasal 55.
 

    1. Waktu iddah bagi seorang isteri jang putus pernikahannja bukan karena kematian suami, tidak sedang mengandung dan sudah pernah ditjampurinja, adalah sebagai berikut:

      a. tiga kali waktu sutji bagi isteri jang pernah haidl;

      b. tiga bulan bagi isteri jang belum pernah haidl atau jang sudah bebas haidl;

      c. tiga kali waktu sutji bagi isteri jang pernah haidl, kemudian putus haidlnja karena menjusui;

      d. satu tahun bagi isteri jang pernah haidl, tetapi kemudian putus haidlnja bukan karena menjusui, akan tetapi apabila dalam waktu satu tahun itu ia berhaidl kembali, maka iddahnja mendjadi tiga kali waktu sutji;

      e. djika isteri jang putus pernikahannja karena talak radja‘i kemudian kematian suaminja dalam waktu iddah sebagaimana termaksud dalam huruf a, b, c, dan d diatas, maka iddahnja beralih mendjadi empat bulan sepuluh hari, terhitung mulai saat matinja bekas suami itu.

 

    2. Waktu iddah bagi isteri jang mengandung adalah sampai dengan lahir kandungannja.

 

    3. Waktu iddah bagi isteri jang putus pernikahannja karena kematian suami dan tidak sedang mengandung ialah empat bulan sepuluh hari.

 

    4. Tidak ada iddah bagi isteri jang putus pernikahannja sebelum ditjampuri, ketjuali apabila putusnja pernikahan itu karena kematian suami.

 

    5. Waktu iddah dihitung mulai saat putusnja pernikahan.

 

Pasal 56.
 

    1. Seorang perempuan jang sudah habis iddahnja boleh melakukan pernikahan baru, dengan laki-laki lain atau dengan bekas suaminja, ketjuali dalam keadaan sebagaimana termaksud dalam pasal 13.

 

    2. Perempuan jang tidak beriddah sebagai tersebut pada pasal 55 ajat 4 dapat melangsungkan pernikahannja baru mulai saat sesudah putusnja pernikahannja.

 

BAB KEENAM
 

RUDJUK
 

Pasal 57.
 

    1. Seorang suami berhak merudjuk bekas isterinja jang sedang dalam iddah talak radja‘i.

 

    2. Rudjuk dilakukan dengan sjarat-sjarat sebagai berikut:

 

      a. isterinja masih dalam waktu iddah sebagaimana dimaksud dalam pasal 55,

      b. dilakukan oleh suami atau wakilnja dengan lisan atau tulisan,

      c. bagi suami jang tidak dapat bertutur; dapat melakukan dengan tulisan atau isjarat jang dapat dimengerti,

      d. rudjuk jang sharih, dianggap sah djika disertai dengan niat rudjuk,

      e. rudjuk dilakukan dihadapan Pegawai Pentjatat Nikah dan dua orang saksi.

 

Pasal 58.
 

    Seorang laki-laki dilarang melakukan rudjuk kepada bekas isterinja, djika:

 

      a. pernikahannja putus dengan djalan selain talak, ketjuali karena sebab-sebab jang tersebut pada pasal 49 ajat 1 huruf
            a, b, f, dan h,

      b. pernikahannja putus dengan tiga talak,

      c. pernikahannja putus dengan talak sebelum ditjampuri.

 

Pasal 59.
 

    Djika seorang bekas isteri dalam iddah menjatakan keberatan atas rudjuk jang dilakukan oleh suaminja, ia dapat mengadjukan hal itu kepada Pengadilan Agama.

 

BAB KETUDJUH
 

AKIBAT PUTUSNJA PERNIKAHAN
 

Pasal 60.
 

    1. Djika suatu pernikahan putus atau dibatalkan dan ada perselisihan mengenai siapa jang berhak memelihara anak jang lahir dalam pernikahan itu, maka atas permintaan jang berkepentingan Pengadilan Agama dapat memberikan keputusan kepada siapa anak itu diserahkan.

 

    2. Pengadilan Agama setelah mendengar keterangan dari kedua belah pihak, memutuskan penjerahan anak itu kepada pihak jang dapat membawa kemaslahatan anak.

 

    3. Ajah memikul biaja untuk memelihara dan mendidik anak-anak sekurang-kurangnja sampai anak-anak berumur delapan belas tahun dan dapat mengurus dirinja sendiri.

 

    4. Pengadilan Agama dengan mengingat kemampuan ajahnja dapat menetapkan djumlah biaja untuk memelihara dan pendidikan anak-anak jang tiada turut padanja.

 

Pasal 61.
 

    1. Djika suatu pernikahan putus atau dibatalkan maka harta kekajaan pernikahan dibagi berdasarkan atas ketentuan pasal 32, 34 ajat 2, 35 dan 36.

 

    2. Apabila selama pernikahan itu terdapat hutang, sedangkan hutang itu ternjata digunakan untuk membiajai rumah tangga dan pendidikan anak-anak dan telah mendapat persetudjuan dari suami, maka hutang itu seluruhnja ditanggung oleh suami.

 

BAB KEDELAPAN
 

PERATURAN PIDANA.
 

Pasal 62.
 

    Dihukum dengan pidana pendjara selama-lamanja sembilan bulan:

 

      a. Seorang laki-laki dan seorang perempuan jang melakukan pernikahan atau mendjadi wali dalam pernikahan itu, sedang ia/mereka mengetahui bahwa pasal-pasal 3, 4, 5, 11, 12, 13, 16 ajat 2, 17 dan 18 dilanggar;

      b. barang siapa dengan sengadja melanggar ketentuan-ketentuan tersebut pada pasal-pasal 40, 41, 48, 50 ajat 1 dan 58.

 

Pasal 63.
 

    Pegawai Pentjatat Nikah dapat dihukum hukuman djabatan:

      a. kalau ia mendaftar suatu pernikahan jang tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 3, 4, 5, 6 dan 7, padahal ia mengetahui atau seharusnja mengetahui akan terdjadinja kesalahan itu;

      b. kalau ia melanggar larangan jang tersebut pada pasal-pasal 11, 12, 13, 17 dan 18 padahal ia mengetahui atau seharusnja mengetahui akan terdjadinja pelanggaran itu,

      c. kalau ia mendaftarkan suatu talak, chulu‘ atau rudjuk jang tidak memenuhi sjarat-sjarat jang dimaksud dalam pasal-pasal 39, 48, 50 ajat 1, 57 ajat 2 dan 58, padahal ia mengetahui atau seharusnja mengetahui akan terdjadinja kesalahan itu;

      d. kalau ia melanggar ketentuan jang tersebut pada pasal 38, padahal ia mengetahui atau seharusnja mengetahui akan terdjadinja pelanggaran itu.

 

Pasal 64.
 

    Pegawai Pentjatat Nikah dapat dihukum pidana pendjara selama-lamanja tiga tahun, djika ternjata dalam melakukan kesalahan atau pelanggaran jang tersebut dalam pasal 63 ia menerima suapan atau melakukan ketjurangan.

 

Pasal 65.
 

    Dipidana pendjara selama-lamanja satu tahun barang siapa dengan sengadja:

      a. memberikan keterangan palsu tentang sjarat-sjarat jang dimaksud dalam pasal-pasal 3, 5, 8, 16, 39, 54, 57 ajat 2 dan 58;

      b. memberikan keterangan palsu jang menjebabkan terdjadinja pelanggaran atas pasal-pasal 11, 12, 13, 17 dan 18.

 

Pasal 66.
 

    Pidana pendjara selama-lamanja satu tahun dapat didjatuhkan atas laki-laki dan perempuan jang pernikahannja:

 

      a. terbukti dimaksud mempunjai batas waktu jang tertentu atau mempunjai sjarat-sjarat jang bertentangan dengan maksud pernikahan seperti tersebut dalam pasal 1 ajat 1;

      b. terbukti bahwa pernikahan itu dimaksud semata-mata untuk membuka djalan bagi bekas suami supaja dapat menikah dengan perempuan jang melakukan pernikahan itu, jang sudah ditalak tiga oleh suaminja.

 

Pasal 67.
 

    Laki-laki dan perempuan jang mengadakan hubungan sebagai suami isteri jang tidak dilakukan berdasarkan pernikahan jang sah menurut Undang-Undang ini, dihukum pidana pendjara selama2nja lima tahun.

 

Pasal 68.
 

    1. Perbuatan-perbuatan jang diantjam pidana oleh Undang-Undang ini dianggap sebagai kedjahatan.

    2. Panitra Pengadilan Negeri dalam waktu satu minggu sesudah adanja keputusan pasti mengirimkan kutipan surat keputusan tentang kedjahatan sebagaimana tersebut pada pasal-pasal 62, 64, 65, 66 dan 67 kepada instansi jang berkepentingan untuk diselesaikan sebagaimana mestinja.

 

BAB KESEMBILAN
 

PERATURAN PERALIHAN.
 

Pasal 69.
 

    1. Semua pernikahan, pemutusan pernikahan dan rudjuk jang sah menurut peraturan perundangan jang berlaku sebelum undang undang ini, adalah sah.

    2. Semua peraturan perundangan mengenai pengawasan dan pentjatatan nikah, talak dan rudjuk jang telah ada pada saat berlakunja undang-undang ini, tetap berlaku sekedar tidak ada ketentuan lain dalam undang-undang ini.

 

Pasal 70.
 

    1. Undang-Undang ini berlaku bagi suami isteri jang perkawinannja tidak berdasarkan undang-undang ini, seketika mereka itu kedua-duanja memeluk agama Islam, ketjuali apabila atas perkawinan itu berlaku peraturan perundangan lain.

    2. Dalam hal atas perkawinan itu berlaku ketentuan-ketentuan peraturan perundangan lain sebagai tersebut pada ajat 1 diatas, maka atas permintaan suami isteri Pengadilan Negeri menetapkan bahwa selandjutnja mereka tunduk kepada undang-undang ini.

    3. Undang-undang ini berlaku bagi suami isteri jang perkawinannja tidak berdasarkan undang-undang ini, terikat atau tidak perkawinan tersebut pada peraturan perundangan lain, setelah suami pindah memeluk agama Islam dan atas permintaannja Pengadilan Negeri menetapkan bahwa selandjutnja mereka tunduk pada undang-undang ini.

    4. Undang-undang ini berlaku bagi suami isteri jang perkawinannja tidak berdasarkan undang-undang ini, terikat atau tidak perkawinan tersebut pada peraturan perundangan lain, setelah isteri pindah memeluk agama Islam dan atas permintaan suami isteri bersama Pengadilan Negeri menetapkan bahwa selandjutnja mereka tunduk pada undang-undang ini.

    5. Undang-undang ini berlaku djuga bagi suami isteri jang beragama Islam jang perkawinannja didasarkan atas peraturan perundangan lain, setelah atas permintaan mereka Pengadilan Negeri menetapkan bahwa selandjutnja mereka tunduk pada undang-undang ini.

    6. Pengadilan Negeri menetapkan seperti tersebut pada ajat 1 sampai dengan ajat 5 diatas, setelah perkawinan suami isteri jang berkepentingan diperiksa dan ternjata tidak bertentangan dengan pasal-pasal 11, 12 huruf b dan 13, begitu pula pasal 12 huruf a jang pada saat mereka memeluk agama Islam waktu iddahnja belum lampau.

 

Pasal 71.
 

    Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu satu minggu sesudah adanja keputusan pasti mengirimkan kutipan surat keputusan mengenai hal-hal jang tersebut pada pasal 70 kepada Pegawai Pentjatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Ketjamatan jang mewilajahi tempat kediaman suami isteri jang berkepentingan untuk ditjatat.

 

Pasal 72.
 

    1. Suami isteri jang tunduk pada undang-undang ini jang kemudian kedua-duanja atau salah satu murtad, maka:

      a. djika mereka ingin memutuskan pernikahannja, jang berkepentingan dapat mengadjukan permohonan fasach kepada Pengadilan Agama;

      b. djika mereka tidak ingin memutuskan pernikahannja, undang-undang ini terus berlaku pada mereka, ketjuali bila atas permintaan suami isteri bersama-sama Pengadilan Agama menetapkan bahwa mereka dibebaskan dari berlakunja undang-undang ini.

 

    2. Pengadilan Agama menetapkan sebagai dimaksud dalam ajat 1 huruf b, setelah jang bersangkutan diperiksa dan ternjata bahwa terdjadinja permintaan tersebut tidak ada paksaan pada fihak jang masih tetap beragama Islam.

 

Pasal 73.
 

Panitera Pengadilan Agama dalam waktu satu minggu setelah adanja keputusan pasti mengirimkan kutipan surat keputusan mengenai hal-hal jang tersebut pada pasal 72 kepada Pegawai Pentjatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Ketjamatan jang mendaftarkan pernikahan suami isteri jang berkepentingan untuk ditjatat.

 

BAB KESEPULUH
 

PERATURAN PELAKSANAAN DAN PENUTUP
 

Pasal 74.
 

    Ketentuan-ketentuan jang dianggap perlu untuk melaksanakan undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Agama.

 

Pasal 75.
 

    Undang-undang tentang pokok-pokok Peraturan Pernikahan Umat Islam ini mulai berlaku pada hari jang akan ditetapkan oleh Menteri Agama.

     

    Agar setiap orang dapat mengetahuinja, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Diundangkan di Djakarta,

pada tgl. ..........1961

 

MENTERI KEHAKIMAN

 

(SAHARDJO).

Ditetapkan di Djakarta,

pada tgl. ..........1961.

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

(SUKARNO).





Quelle: Sudarsono, S., Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. o. A., S. 153-206


Penjelasan